Jumat, Juli 26, 2024
BerandaHOMEJANGAN LUPAKAN SEJARAH PAPUA, DARI NIATAN BERSATU DENGAN NKRI SAMPAI JADI PRIORITAS...

JANGAN LUPAKAN SEJARAH PAPUA, DARI NIATAN BERSATU DENGAN NKRI SAMPAI JADI PRIORITAS PEMBANGUNAN

JAKARTA, “tabloidnusantara.com” – Pulau Papua (dahulu Irian Barat antara1956 – 1973) dan Irian Jaya (1973 – 2000) memiliki luas sekitar 312.224,37 km2  dan terletak di ujung timur dari wilayah Indonesia. Pulau Papua dari dulu sampai dengan sekarang memiliki potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan sangat strategis. Kekayaan alam yang melimpah, berdasarkan catatan sejarah telah mendorong kerajaan-kerajaan Nusantara maupun bangsa-bangsa asing untuk menguasai pulau Papua.

Papua memiliki sejarah yang kaya dan beragam. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, pulau ini dihuni oleh berbagai suku pribumi yang memiliki budaya dan bahasa mereka sendiri. Pada tahun 1828, Belanda secara resmi mengklaim wilayah ini sebagai koloni mereka dan menjadikannya bagian dari Hindia Belanda.

Selama Papua dalam masa penguasaan kolonial Belanda, terjadi perlawanan dari sejumlah kelompok masyarakat Papua dimulai dengan pergerakan kemerdekaan rakyat Papua dan niatan untuk bersatu dengan saudara-saudara se-tanah air yakni Indonesia. Niatan bersatu dengan Indonesia sebagai saudara sebangsa dan se-tanah air tersebut diinisiasi oleh Atmoprasojo, kepala Sekolah Bestuur (pegawai negeri) tahun 1940-an bersama sejumlah putra asli Papua yang memiliki kebulatan tekad untuk bersatu bersama Indonesia Merdeka seperti Frans Kaisiepo, pemimpin Komite Indonesia Merdeka (KIM) dan Corinus Krey, Marthen Indey serta Silas Papare.

Namun untuk menghapuskan nasionalisme Indonesia, Belanda membuang tokoh – tokoh putra daerah nasionalis Papua ke Makassar, Jawa, dan Sumatra. Tokoh-tokoh yang dibuang seperti Silas Papare, Albert Karubuy, N.L. Suwages, Machmud Singgirei Rumagesan.  Walau beberapa masih pula berada di Papua seperti, Steven Rumbewas, Corinus Krey, Marthen Indey, Abraham Koromath, Samuel Damianus Kawab, Elieser Jan Bonay, dan Elly Uyo.

Pada tanggal 16 Juli 1946, Frans Kaisiepo yang dipilih untuk mewakili Nieuw Guinea hadir untuk konferensi di Malino-Ujung Pandang. Di Malino melalui pidatonya dalam penyiaran radio nasional, mengumumkan pergantian nama Papua dan Nieuw Guinea dengan nama Irian dan seharusnya masuk menjadi wilayah Indonesia, nama Irian adalah satu nama yang mengandung arti politik. Frans Kaisepo pernah mengatakan “Perubahan nama Papua menjadi Irian, kecuali mempunyai arti historis, juga mengandung semangat perjuangan: IRIAN artinya Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”.

READ ALSO : PANGDAM XVII/CENDERAWASIH: KITA JAGA KEUTUHAN NKRI, TIDAK BOLEH ADA PIHAK PISAHKAN PAPUA DENGAN INDONESIA

Sementara itu di Manokwari, Gerakan Merah Putih didirikan oleh Petrus Walebong dan Samuel Damianus Kawab, gerakan ini kemudian menyebar ke Babo, Kokas, dan Sorong. Cabang KIM di Biak diubah menjadi Partai Indonesia Merdeka (PIM) oleh Lukas Rumkorem, sedangkan di Sorong, Perintis Kemerdekaan didirikan oleh Sangaji Malan.

Pada tanggal 17 Agustus 1947, para pekerja Nederlandsch Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij, mendirikan Persatuan Pemuda Indonesia (PPI) yang dipimpin Abraham Koromath. Pada tanggal 19 Maret 1948 terjadi pemberontakan terhadap Belanda, di Biak yang dipimpin oleh Stevanus Yoseph dengan Petro Jandi, Terianus Simbiak, Honokh Rambrar, Petrus Kaiwai dan Hermanus Rumere. Para pemimpin pemberontakan ditangkap dan Petro Jandi dihukum mati, dan lainnya dipenjara oleh pemerintah Belanda.

Pada tahun 1963, Indonesia mengambil alih administrasi Papua dari Belanda dan pada tahun 1969, PBB mengakui kedaulatan Indonesia atas wilayah ini melalui proses yang dikenal sebagai “Penentuan Pendapat Rakyat” (Pepera). Pelaksanaan Pepera ini dilakukan di 8 Kabupaten, yakni Jayawijaya, Merauke, Paniai, Fakfak, Sorong, Biak, Manokwari serta Jayapura. Yang mana dihadiri oleh 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP),  mewakili jumlah penduduk Papua yang saat itu berjumlah 809.327 jiwa.

DMP terdiri atas 400 orang yang mewakili unsur tradisional (Kepala Suku/Adat), 360 orang mewakili unsur daerah serta 266 orang mewakili unsur organisasi politik maupun organisasi kemasyarakatan lainnya. Hasil dari Pepera yang digelar di 8 Kabupaten Irian Barat (Papua) ini memilih serta menetapkan bahwa Papua merupakan bagian mutlak dari NKRI. Hasil tersebut kemudian disepakati dan disetujui dengan pembubuhan tanda tangan bagi semua yang hadir dalam rapat.

Secara de facto masyarakat Papua memilih untuk berintegrasi dengan wilayah NKRI ini. Pengeluaran Resolusi PBB nomor 2504 pada sidang Umum 19 November 1969 menyatakan jika 82 negara setuju, terdapat 30 negara abstain serta tidak ada yang tidak setuju. Hal ini telah menunjukkan bahwa dunia Internasional sudah mengakui keabsahan Pepera tahun 1969 tersebut.

Infografis Sejarah Papua. (kominfo.go.id)

READ ALSO : NAKES NUSANTARA SIAP LAYANI MASYARAKAT PASCA PENANGKAPAN 19 AKTIVIS KNPB

Bahwa Papua Barat merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang telah diakui oleh PBB sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia semenjak disahkannya Resolusi PBB No. 2504 pada tanggal 19 November 1969  tentang status Papua yang sah menurut hukum internasional menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pengakuan oleh PBB terhadap Papua sangat penting dalam memperkuat kedaulatan Indonesia atas wilayah ini. Meskipun terdapat beberapa pihak yang masih meragukan proses Pepera tersebut, PBB mengakui hasilnya sebagai legitimasi yang sah.

Namun, sejak pengakuan tersebut, masih terdapat sejumlah isu dan tantangan yang dihadapi oleh Papua. Salah satu isu yang paling sering dibahas adalah masalah HAM dan otonomi daerah. Beberapa organisasi internasional dan LSM telah mengkritik perlakuan pemerintah terhadap masyarakat Papua, terutama dalam hal pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah ini.

Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa langkah untuk mengatasi masalah ini, seperti memberikan otonomi khusus kepada Provinsi Papua untuk meningkatkan pemerintahan lokal dan pembangunan ekonomi. Namun, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan hak-hak masyarakat Papua terpenuhi sepenuhnya.

Selain itu, adanya perselisihan antara kelompok separatis Papua dan pemerintah Indonesia juga masih menjadi tantangan yang kompleks. Beberapa kelompok separatis memperjuangkan kemerdekaan Papua, namun pemerintah Indonesia menganggap Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wilayah yang terletak di ujung timur Indonesia ini juga telah menjadi pusat perhatian internasional dalam beberapa dekade terakhir. Salah satu alasan utama adalah kekayaan alamnya yang melimpah, termasuk sumber daya alam seperti minyak, gas alam, dan tambang emas yang sangat berharga. Tidak mengherankan jika beberapa negara lain tertarik untuk menguasai wilayah ini.

Namun, ide untuk menguasai Papua Barat hanya berdasarkan motif ekonomi semata adalah pandangan yang sempit. Wilayah ini memiliki sejarah yang kaya dan budaya yang unik, yang harus dihormati dan dilindungi. Mengabaikan hak-hak asli orang Papua dan keinginan mereka untuk memiliki kendali atas tanah mereka sendiri akan melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Pada kenyataannya, Indonesia telah berkomitmen untuk memajukan Papua Barat melalui pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan akses ke pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur di wilayah ini. Pembangunan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua Barat dan memberikan mereka kesempatan yang sama dengan wilayah lain di Indonesia.

Selain itu, Indonesia juga telah memberikan otonomi khusus kepada Papua Barat melalui Undang-Undang Otonomi Khusus yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843) dan sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 2 Tahun 2021 dan juga berlakunya UU No. 1 Tahun 2022  tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang perubahan Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua mengamanatkan beberapa hal pokok, seperti penyerahan kewenangan dari provinsi ke kabupaten/kota, penambahan transfer dana otonomi khusus Papua menjadi 2,25% dari Dana Alokasi Umum Nasional, dan ketentuan anggota DPRP/DPRK yang diangkat tanpa melalui mekanisme Pemilihan Umum dengan kuota 25%. Sebagai upaya melaksanakan amanah tersebut, dibutuhkan kerja sama pihak-pihak terkait dalam mewujudkan percepatan pembangunan kesejahteraan Papua, seperti para tokoh adat dan masyarakat Orang Asli Papua (OAP).

“Saya meyakini percepatan pembangunan Papua akan segera terwujud, karena tokoh adat dan seluruh elemen local champion OAP siap untuk bahu-membahu dan berpartisipasi aktif membangun tanah Papua,” tegas Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin saat menghadiri secara virtual Deklarasi Papua Damai yang diselenggarakan oleh Lembaga Masyarakat Adat Papua, Rabu (01/06/2022) beberapa waktu yang lalu seperti yang dilansir di laman setneg.go.id.

Tentu saja, masih ada tantangan yang harus dihadapi dalam membangun Papua Barat. Salah satunya adalah meningkatkan partisipasi masyarakat Papua dalam proses pembangunan. Melibatkan mereka secara aktif dalam pengambilan keputusan dan memberdayakan mereka secara ekonomi adalah langkah penting untuk memastikan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.

Selain itu, perlu juga diakui bahwa beberapa kelompok di dalam dan di luar Papua Barat masih memiliki agenda politik yang berbeda dan mencoba memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan mereka sendiri. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak yang terlibat untuk berkomunikasi dan bekerja sama dalam mencapai solusi.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments