PAPUA, “tabloidnusantara.com” – Dari prespektif HAM tuntutan tuntuta KKB, Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua, Frits B Ramandey mengatakan bahwa pernyataan Egianus harus dilihat sebagai hal positif dalam konteks bagaimana memulai negosiasi. “Terkait pernyataan dua bulan lalu soal dialog atau perundingan, sebenarnya Egianus sedang membuka komunikasi. Namun hingga kini, belum ada tanda tanda progres dialog. Masalah utamanya lantaran para pihak belum menyepakati siapa yang mau menjadi negosiator untuk melakukan proses mediasi,” kata Frits kepada Cenderawasih Pos, Jumat (30/6)
Frits meyakini bahwa ketika Egianus memberikan deadline. Secara tidak langsung Egianus ingin mengatakan bahwa mereka menghormati HAM, secara khusus si pilot yang mereka sandera. “Saya meyakini dalam komunikasi HAM, KKB memberi perlindungan kepada pilot. Saya juga menyerukan agar pilot tidak disakiti,” kata Frits.
READ ALSO : HADAPI KKB PAPUA, TNI TOLAK GUNAKAN SENJATA
Selain itu kata Frits, dalam proses pembebasan pilot Susi Air masih menemui beberapa problem. Bahkan, tim negosiasi yang sudah dibentuk Pemda setempat belum juga menyampaikan progres. “Egianus dengan TPN-OPM baru menyampaikan tuntutannya, tetapi meminta pihak ketiga dalam proses dialog. Hanya saja, pihak ketiga yang dimaksud ini siapa kita belum tahu dan belum diumumkan. Sebaiknya pemerintah mencoba evaluasi tim negosiasi yang sudah dibentuk dan sejauh mana progresnya,” terangnya.
Frits juga menegaskan bahwa yang diminta secara resmi oleh Egianus adalah perundingan, bukan meminta senjata. Memang dalam konteks perundingan tersebut adalah egianus bicara dalam konteks Papua Merdeka. “Masalah utama sekarang adalah siapa yang mau menjadi juru runding dan tempatnya dimana, sampai saat ini belum juga diumumkan,” kata Frits. Lanjut Frits menjelaskan, dalam kasus penyanderaan pilot, Komnas HAM punya kepentingan kemanusiaan terutama kepada sandera dan warga masyarakat yang ada di Mugi, Paro dan sekitarnya.
Selaku lembaga mandiri yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia di Indonesia, Komnas HAM tidak seharusnya melihat pada satu prespektif saja. Lembaga yang salah satunya mempunyai tujuan untuk meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia harus berhati-hati dan mempunyai dasar yang kuat dalam menyampaikan pendapatnya. Kondisi ini perlu dilakukan mengingat, masyarakat di era digitalisasi ini semakin pandai dalam menilai suatu pernyataan. Masyarakat semakin jeli menilai kebenaran dan keaktualisasian sebuah pernyataan yang disampaikan.
Seperti pernyataan yang disampaikan Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua, Frits B Ramandey, yang menilai bahwa sikap KKB yang dipimpin oleh Egianus Kogoya meminta perundingan dalam pembebasan pilot Susi Air sebagai suatu sikap yang menghormati HAM, apakah masyarakat lupa dengan pelanggaran HAM yang dilakukan KKB ? Apakah masyarakat lupa dengan kekejaman, kekerasan, perusakan dan aksi teror yang dilakukan KKB sampai menimbulkan korban jiwa ?
READ ALSO : BERDALIH LINDUNGI HUKUM HUMANITER, DEWAN DIPLOMATIK OPM BUKA SUARA TENTANG NASIB SANDERA
Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Mathius Fakhiri, yang ditemui seusai peringatan ke-77 Hari Bhayangkara di Jayapura, Sabtu (1/7/2023), mengatakan bahwa gangguan keamanan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) menjadi salah satu tantangan yang masih dihadapi Polda Papua. Mayoritas kelompok ini melakukan aksi di sejumlah kabupaten di Provinsi Papua, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Selatan.
Mathius memaparkan, 17 korban jiwa yang tewas enam bulan terakhir terdiri dari 10 warga sipil, 6 personel TNI, dan 1 personel Polri. Adapun korban luka sejumlah 26 warga yang terdiri dari 19 warga sipil, 5 personel TNI, dan 2 personel Polri. Sementara aksi KKB pada semester I-2023 tercatat sebanyak 75 kasus. Jumlah ini meningkat 24 kasus apabila dibandingkan dengan aksi KKB pada semester I tahun 2022, yakni 51 kasus. Semester ini, KKB tercatat beraksi di 10 kabupaten yang meliputi Kabupaten Intan Jaya, Paniai, Puncak, Puncak Jaya, Nduga, Pegunungan Bintang, Lanny Jaya, Yahukimo, Boven Digoel, dan Kepulauan Yapen.
Dari data yang disampaikan oleh Kapolda Papua tersebut nyata bahwa Egianus dengan Kelompok Kriminal bersenjatanya melakukan banyak pelanggaran HAM. Hal tersebut menjadi tidak pantas ketika salah satu sikapnya meminta perundingan dalam pembebasan pilot Susi Air dianggap sebagai suatu sikap yang bisa dinilai sebagai prespektif yang menghormati HAM.
Koordinator Nasional Aliansi Mahasiswa dan Milenial Indonesia (AMMI), Nurkhasanah sempat mempertanyakan sikap Komnas HAM terhadap konflik yang terjadi di Papua. “Yang menjadi pertanyaan kami selama ini, dan berpuncak pada penolakan Komnas HAM soal labelisasi teroris untuk kelompok separatis tersebut, mengapa Komnas HAM seperti memakai standar ganda,” kata Nurkhasanah melalui keterangan, Jumat (30/4/2021).
Menurut dia, manakala terjadi penembakan guru, pembunuhan tukang ojek, pembakaran gedung sekolah tempat anak-anak Papua membangun jiwa mereka untuk masa depan, bahkan pembunuhan kepala BIN Daerah Papua baru-baru ini, tak terdengar suara apa pun dari Komnas HAM.
“Namun begitu kepentingan kelompok separatis terganggu, mengapa Komnas HAM seolah baru sadar tentang tugas mereka mengawal pelaksanaan dan penghormatan akan HAM? Kemana saja mereka selama ini? Janganlah work from home karena pandemi Covid-19 lantas dijadikan alasan,” kata koordinator AMMI itu, sedikit menyindir.
Nurkhasanah menegaskan, dengan mengedepankan sikap seperti itu, wajar bila di masyarakat sikap tersebut menampilkan sikap seakan-akan Komnas HAM hanya mengakui hak-hak asasi para personel kelompok separatis. Sementara warga Papua yang selama ini dirugikan hak-hak dasar mereka yang paling utama, yakni keamanan dan hak berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidup, tidak mereka akui.
READ ALSO : KECUALI MERDEKA DAN SENJATA, KAPOLDA PAPUA SIAP PENUHI PERMINTAAN KKB
“Padahal, bukankah warga Papua juga punya hak asasi untuk hidup aman, hak untuk dapat bekerja mencari penghidupan dengan tenang tanpa rongrongan kelompok separatis? Janganlah Komnas HAM hanya bicara kalau kepentingan kelompok separatis terganggu, karena dengan begitu akan wajar kalau rakyat mempertanyakan sikap adil Komnas HAM,” kata Nurkhasanah.
Dia juga mempertanyakan pernyataan salah seorang Komisioner Komnas HAM yang menilai langkah pelabelan teroris itu tidak tepat karena yang seharusnya dilakukan adalah pendekatan soft approach. “Lha, kemana saja Komnas HAM selama ini? Bukankah operasi pemulihan yang selama ini dilakukan BIN Daerah Papua dan Satgas Nemangkawi itu soft approach? Dalam pengamatan kami Otoritas di Papua itu senantiasa mendekati warga dan selalu mencari jalan damai untuk memulihkan situasi,” kata Nurkhasanah
Karena itu, menurut Nurkhasanah, justru karena sikap kelompok separatis teroris Papua yang gelap mata, negara juga perlu sesekali melakukan operasi yang lebih tegas, yang khusus ditujukan untuk memerangi kelompok separatis-teroris tersebut. Karena itulah AMMI mendukung penuh pelabelan teroris kepada gerombolan pengacau keamanan di Papua tersebut. Ia berharap, pelabelan itu mendatangkan konsekuensi logis yang harus diterima kelompok pengacau tersebut, yakni operasi keamanan yang lebih intensif, terukur dan terarah.