PAPUA, “tabloidnusantara.com” – Pendeta Benny Giay merupakan salah satu sosok yang menawarkan diri untuk menjadi mediator dengan kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sebelumnya sejumlah perwakilan gereja dan uskup di Jayapura, Papua, menawarkan diri untuk menjadi mediator dengan kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM), dalam rangka membebaskan pilot Susi Air asal Selandia Baru, Philip Max Mehrtens, yang telah disandera hampir tiga bulan.
Mantan Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua, Pendeta Benny Giay, berkata niat itu datang usai melihat kondisi masyarakat di Kabupaten Nduga yang memprihatinkan. Namun, dia menilai negosiasi bisa berhasil jika TNI-Polri menarik pasukan dari Nduga demi menciptakan suasana damai.
READ ALSO : WUJUD PENEGAKAN HUKUM INDONESIA TERHADAP PETINGGI KST PAPUA
Namun dibalik keinginannya menjadi negoisator, Pendeta Benny Giay sebagai pelayan jemaat Kristen juga mengkritisi sistem dan pemerintah sipil di Indonesia khususnya di Papua. Menurutnya dalam rentan tiga setengah tahun ini system dan pemerintah sipil di Papua tidak berjalan dengan baik, sebab diambil alih oleh sistem militerisasi di seluruh wilayah. Dengan sistem militer, kata Giay, seluruh proses pelayanan publik tidak akan berjalan dengan baik kepada masyarakat sipil, yang juga sebagai penerima manfaat atas seluruh program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Sikapnya yang berkedok sebagai Pendeta ini diindikasi sebagai bentuk sikap yang tidak menghendaki keberadaan TNI di Papua. Bahkan sebagai tokoh yang harus menjadi panutan, dirinya tidak mengkritisi adanya kekerasan yang dilakukan KKB selama ini.
Tokoh Papua Franz Korwa pertanyakan sikap Dewan Gerej Papua yang dinilaikan bukan sebagai kiblat yang bisa dijadikan contoh dan panutan. Hal ini disampaikannya sebab Dewan Gereja mencoba menutup-nutipi fakta bahkan mendukung aksi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang melakukan penyerangan terhadap misionaris di Distrik Biondoga, Intan Jaya. “Saya perlu sampaiikan, ini karen ada upaya dari Dewan Gereja yang mencoba menutupi bahkan dugaan tersebut menguatkan mereka yang jelas mendukung pelanggaran HAM oleh OPM,” ungkapnya. (18/1)
READ ALSO : KAPUSPEN TNI: OPERASI PENYELAMATAN PILOT SUSI AIR TETAP BERJALAN SESUAI RENCANA
Franz menuturkan bahwa Dewan Gereja yang didalamnya berisi Socratez S. Yoman ataupun Benny Giay tersebut hanya berputar-putar dengan berbagai alasan untuk mengaburkan fakta bahwa KKB telah melakukan penyerangan keji bahkan terhadap elemen penyebar agama di Papua.
“Sebelum peristiwa ini, kita tahu kalalu mereka (Dewan Gereja) selalu membuat kekhawatiran terhadap seluruh umat beragama di Papua dengan pernyataan-pernyataan yang cenderung memprovokasi, disana ada Socratez dan Benny Giay yang selalu bertingkah,”
READ ALSO : KEBIADABAN KKB PAPUA MERUPAKAN ANCAMAN TERHADAP KEADILAN SOSIAL DAN HAK ASASI MANUSI
Dikatakan oleh Franz bahwa Dewan Gereja tidak pernah bisa merealisasikan kedamaian di Papua lewat pendekatan agama, justru yang saat ini dikhawtirkan oleh Franz adalah indikasi bahwa Dewan Gereja mendukung kekerasan karena menjadi bagian dari separatisme di Papua. “Apakah anggapan Dewan Gereja mengerucut pada dukungannya terhadap kelompok separatis? Ini sama saja menjual agama demi kepentingan,”
Menurutnya dalam menyikapi setiap aksi keji yang dilakukan oleh KKB, Dewan Gerja tidak pernah terdengar menyerukan pernyataan yang bertentangan. Bahkan dukungan buta pernah dilakukan oleh Socratez Yoman yang menepis pelaku penembakan terhadap WNA Selandia Baru Greame T. Wall pada Maret 2020. Padahal pasca kejadian, terbukti bahwa KKB merupakan pelaku penyerangan yang terjadi di Kuala Kencana, Timika.
“Lihat pernyataan Socratez waktu dia membela OPM atas penembakan karyawan Freeport. Namun berbeda dengan kasus-kasus lain yang menguntungkan pihaknya, pasti ramai suara dari kelompok penipu itu, Sama sekali tidak pernah terdengar pernyataannya, padahal sudah jelas faktanya, videonya pun tersebar luas.” tegasnya ketus.
Frans pun menegaskan bahwa Dewan Gereja harus bisa menjadi penengah antar konflik yang terjadi di Papua. Ia meminta agar nilai agama tidak digunakan untuk membohongi rakyat atas kepentingan politik. Franz bahkan mendesak nama Benny Giay untuk mencoba bersuara memperlihatkan keangkuhannya seperti ketika dia diwawancarai oleh televisi swasta beberapa waktu lalu.
Bahkan terkait adanya demonstrasi penolakan Otsus serta kebijakan pemekaran wilayah pada tahun 2021, Pendeta Socrates bersama dengan Dewan Gereja Papua bentukannya yang terdiri dari dirinya, Benny Giay dan Dorman Wandikbo dikabarkan turut andil dalam menginisiasi massa. Sebuah tindakan yang tak bisa ditolerir lagi dari seorang pendeta yang harusnya menggembala jemaatnya untuk hidup damai namun justru turut terlibat dalam aksi yang rawan provokasi dan kericuhan.